DAMPAK NYATA KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK (BBM)
Oleh
Andina Faradita
305342479133
Off G
Harga minyak internasional terus menerus meningkat sampai kisaran USD 115 per barel. Hal ini semakin menekan keuangan negara karena harus menanggung subsidi BBM yang semakin membengkak di APBN. Apabila pemerintah tetap tidak menaikkan harga BBM bersubsidi, maka dapat dipastikan negara harus menanggung subsidi di atas 200 triliun. Akan tetapi apabila lebih memilih untuk menyelamatkan APBN, maka kenaikan dari BBM akan sulit dibendung. Inilah gambaran kondisi pemerintahan terkait denagan beratnya beban subsidi pada saat ini. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2008, kuota BBM subsidi ditetapkan 35,5 juta kiloliter (kl). Rinciannya, premium (16,8 juta kl), solar (11 juta kl), dan minyak tanah (7,7 juta kl).
Berdasarkan data terbaru yang dirilis Badan Pengatur Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), di antara ketiga jenis BBM bersubsidi itu, konsumsi premium dan solar meningkat. Hanya konsumsi minyak tanah yang menurun. Anggota Komite BPH Migas Adi Subagyo menyatakan, naiknya tingkat konsumsi BBM dipengaruhi banyak faktor. Misalnya, terus naiknya jumlah kendaraan bermotor.
Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil periode Januari-Maret mencapai 135.598 unit. Jumlah tersebut meningkat 60,7 persen dibandingkan periode yang sama 2007, yakni 84.337 unit, dan ini hanyalah data pembelian mobil. Sedangkan jumlah pembelian sepeda motor lebih banyak lagi. Pengunaan solar subsidi sendiri, konsumsi pada bulan Januari mencapai 970.694 kl, meningkat 13,19 persen dibandingkan Januari 2007. Konsumsi pada bulan Februari 2008 mencapai 822.099 kl, meningkat 8,1 persen dari Februari 2007. Selain pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang meningkat, faktor yang memicu meningkatnya konsumsi premium dan solar adalah beralihnya sebagian konsumen yang sebelumnya mengonsumsi BBM nonsubsidi, yaitu dari jenis Pertamax, Pertamax plus, maupun solar Pertamina Dex ke BBM subsidi jenis premium maupun solar.
Kenaikan harga BBM akan menyebabkan peningkatan angka kemiskinan di Indonesia sekitar 2 persen dari angka sebelumnya. Hal ini dapat dibenarkan dengan merujuk pada berbagai penelitian yang dilakukan banyak pihak terhadap efek dari kenaikan harga BBM yang berkisar rata-rata secara keseluruhan mencapai 29 persen. Dana kompensasi dari kenaikan harga BBM senilai Rp 18,1 triliun (dikurangi biaya monitoring) yang akan diberikan oleh pemerintah nanti hanya akan menjangkau sekitar 30 persen penduduk miskin. Dari angka ini kemudian dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk miskin akan berkurang sebanyak 2 persen. Akan tetapi pada sisi lain terdapat sekitar 40 persen dari penduduk yang sedikit berada di atas garis kemiskinan (10,5 persen dari total penduduk) yang tidak menerima dana kompensasi tersebut. Dengan kenaikan harga BBM itu, penduduk golongan ini akan langsung merosot statusnya menjadi masyarakat miskin. Hal ini menjelaskan bahwa sebanyak 40 persen dari 10,5 persen penduduk hampir miskin di Indonesia atau setara dengan 4 penduduk kita akan jatuh miskin.
Kenaikan ini paling berdampak buruk pada kehidupan nelayan tradisional. Nelayan tradisional adalah kelompok masyarakat paling rentan dan paling dirugikan oleh kebijakan energi pemerintahan. Dapat dilihat, misalnya, kebijakan konversi BBM ke gas. Kebijakan ini sama sekali tidak memiliki relevansi terhadap kebutuhan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat pesisir dan nelayan tradisional. Apalagi kebijakan menaikkan harga BBM.
Menurut Riza Damanik, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, terdapat lima hal yang mencerminkan ketidakadilan kebijakan energi nasional terhadap nelayan tradisional Indonesia, kebijakan itu adalah sebagai berikut:
- Harga BBM yang diterima oleh nelayan, 80% lebih mahal dari harga yang ditetapkan pemerintah, bahkan bisa mencapai lebih dari 300% untuk mereka yang tinggal di pulau-pulau kecil. Hal ini dikarenakan biaya distribusi masih ditanggung penuh oleh nelayan.
- Tidak adanya kesungguhan pemerintah untuk memberikan akses terhadap energi secara mudah saji dan berkelanjutan kepada keluarga nelayan.
- Dalam situasi pemerintah belum mampu memberikan kemudahan akses (distribusi) BBM kepada nelayan, serta menjamin ketersediaan BBM dengan harga yang murah, pemerintah justru mengkriminalisasi perilaku (pola adaptasi) nelayan untuk mendapatkan BBM dengan menyebutkan nelayan di sejumlah daerah penjahat energi (baca: penimbun).
- Skema Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang telah dijalankan oleh Pemerintah SBY-Kalla tidak mampu menyelesaikan masalah terkait dengan dampak kenaikan BBM di kalangan nelayan, khususnya nelayan tradisional.
- Kebijakan kenaikan BBM semakin memperparah kehidupan nelayan. Terlebih, kebijakan ini muncul bersamaan dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Kelautan No. 06 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Jaring Trawl; dan kebijakan kelautan lainnya, khususnya UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dimana kebijakan ini secara tegas memprivatisasi wilayah hidup dan wilayah tangkap nelayan tradisional Indonesia.
Meningkatnya BBM memicu banyaknya penolakan serta protes dari berbagai kalangan. Misalnya saja, sebanyak lima fraksi besar DPR RI tetap menolak kenaikan harga BBM yang dilakukan pemerintah tanpa persetujuan pihak DPR di Pustaka Loka Nusantara IV, Fraksi Demokrasi Indonesia Perjuangan (FDIP) melakukan walk out. Bahkan Rapat Paripurna DPR yang membahas kenaikan harga BBM sejak tanggal 15 Maret 2003 berlangsung ricuh dan berakhir tanpa ada penyelesaian, setelah Fraksi PDIP dan PKB juga melakukan walk out. Di samping itu, banyak elemen masyarakat terus melakukan protes dan demonstrasi menolak kenaikan harga BBM dan meminta agar harga BBM diturunkan kembali.
Terdapat tiga alasan fundamental yang mendasari aksi demontrasi tersebut. Pertama, pemerintah ketika membuat kebijakan menaikkan harga BBM sama sekali tidak memperhatikan kepentingan rakyat. Motif kenaikan harga BBM adalah ekonomi dengan standar harga dunia dan pasar serta asumsi APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) semata. Dalam hal ini faktor realitas sosial sama sekali tidak dijadikan sebagai landasan pentimbangan dalam rencana kebijakan pemerintah tersebut. Kenyataannya kenaikan harga BBM itu sangat membebani kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Alasan kedua, kenaikan harga BBM hanya akan semakin menambah beban masyarakat yang sampai saat ini masih juga menanggung beban krisis ekonomi. Khususnya masyarakat marginal yang hidupnya serba kekurangan. Kenaikan harga BBM telah mengakibatkan efek domino di masyarakat sebab selalu diikuti dengan melonjaknya harga berbagai kebutuhan makanan pokok yang selalu dikonsumsi masyarakat. Belum lagi ditambah dengan naiknya ongkos angkutan umum yang kian mencekik leher masyarakat miskin kita.
Ketiga, adanya kekhawatiran tidak sampainya dana kompensasi dari kenaikan harga BBM ke tangan yang berhak menerimanya. Diprediksikan oleh banyak kalangan akan terjadi lagi apa yang disebut sebagai “tradisi korupsi”. Hal ini cukup beralasan sebab mental korupsi masyarakat Indonesia masih tergolong tinggi. Karena itulah, kebijakan menaikkan harga BBM dinilai tidak etis. Bahkan muncul tudingan bahwa pemerintah kurang kreatif dalam mencari alternatif penyelesaian terhadap defisit APBN. Padahal di luar kebijakan menaikkan harga BBM ini masih terdapat alternatif lainnya yang lebih baik, seperti melakukan pemberantasan korupsi secara serius dan kontinyu serta menerapkan pajak terhadap barang-barang mewah.
Meningkatnya harga BBM ini diperlukan tindak lanjut pemerintahan agar masyarakat tidak terus menerus menderita. Adapun solusi sederhana yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mengurangi peningkatan harga BBM, antara lain:
- Memulai hidup lebih hemat, khususnya hemat BBM. Salah satu caranya adalah mengendarai motor atau mobil dengan benar dan sopan serta selalu menjaga kondisi kendaraan anda agar terawat. Janganlah mobil atau motor dimodif sehingga membuat boros.
- Memperbaiki sistem transportasi umum, berdasarkan survei sebuah tabloid otomotif pengguna kendaraan umum di perkotaan tak lebih dari 10% saja. Tentunya masalah kenyamanan dan ketepatan waktu menjadi hal yang perlu diperbaiki dari transportasi umum.
- Meminimalkan penggunaan kendaran bermotor. Sebaiknya dalam satu keluarga tidak menggunakan mobil atau motor lebih dari satu.