Ruri Kartikasari
305342481458
Muluskah Program Konversi Gas – Minyak Tanah ?
Gebrakan pemerintah melalui kebijakan konversi penggunaan bahan bakar minyak tanah menjadi gas ternyata belum berjalan mulus. Sebagian masyarakat menunjukkan sikap resisten. Sebagian lainnya menerima dengan pasrah tetapi harus dipusingkan dengan peralatan yang tidak memadai. Persoalan semakin pelik karena resistensi masyarakat justru terjadi bersamaan dengan penarikan minyak tanah dari pasaran. Alhasil, masyarakat yang bersikukuh ingin menggunakan minyak tanah ‘dipaksa’ mengantri di pusat-pusat penjualan minyak tanah.
Dari berbagai sumber diketahui bahwa pemerintah berencana untuk mengkonversi penggunaan sekitar 5,2 juta kilo liter minyak tanah kepada penggunaan 3,5 juta ton LPG hingga tahun 2010 mendatang yang dimulai dengan 1 juta kilo liter minyak tanah pada tahun 2007. Langkah ini bisa dipahami cukup strategis mengingat setelah penghapusan subsidi bensin dan solar, permintaan akan minyak tanah tidak memperlihatkan penurunan. Karena itu, salah satu jalan yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi pemakaian minyak tanah.
Pemerintah akan mempercepat program konversi minyak tanah ke elpiji dari 6 tahun menjadi 4 tahun. Total minyak tanah yang dialihkan itu ditargetkan mencapai 90 persen dari konsumsi minyak tanah sekitar 10 juta kiloliter. “Kita bisa, sebab Indonesia produsen elpiji (gas tabung),” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla saat mengunjungi Pertamina kemarin. Sebelumnya, pemerintah menganggarkan dana Rp 1,93 triliun bagi program konversi minyak tanah ini. Program konversi minyak tanah ke elpiji ini berdasarkan surat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro kepada Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Dirjen Migas, dan PT Pertamina (persero). Dananya berasal dari pengurangan subsidi minyak tanah yang dialihkan ke elpiji. Dari program ini, diperkirakan terjadi pengurangan konsumsi minyak tanah mencapai 988.280 kiloliter. Sedangkan konsumsi elpiji menjadi naik sebesar 567.700 ton. Saat ini harga jual elpiji di dalam negeri Rp 4.250 per kilogram. Padahal sebagian pasokan elpiji diimpor Pertamina dengan biaya Rp 6.000-7.000. Jadi selama ini Pertamina mensubsidi konsumen dalam negeri Rp 1.750-2.750 per kilogram. Tahun ini konsumsi elpiji rata-rata 1 juta ton. Jusuf Kalla menjelaskan, bila ini tercapai, dalam 4 tahun ada penghematan subsidi Rp 30 triliun. Namun, diperlukan tambahan investasi sekitar Rp 15 triliun. Direktur Utama PT Pertamina (persero) Arie Soemarno menambahkan, tidak ada tambahan subsidi untuk Pertamina. Skemanya subsidi minyak tanah akan dialihkan ke elpiji dengan perbandingan 1:1. Jadi bisa saja untuk sementara Pertamina menanggung dulu selisih harga jual elpiji. “Yang penting diganti dengan subsidi minyak tanah karena ada pengurangan konsumsi minyak tanah,” ujarnya. Arie menjelaskan, untuk tabung pertama kali, diupayakan gratis. Sedangkan harga jual elpiji tetap dijual Rp 4.250 per kilogram sehingga Pertamina masih menanggung kerugian sekitar Rp 1,9 triliun. “Itu akan kami cari jalan dan dibicarakan dengan pemegang saham,” tutur dia.
Permasalahan lain pun muncul sehingga program konversi minyak tanah ke gas elpiji pada 2010 terhambat. Hal ini disebabkan karena beberapa produsen kompor gas tidak sanggup memenuhi target enam juta unit kompor gas, kata Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Ari Soemarno. “Produksi enam juta kompor gas tidak terpenuhi. Sekarang produksi mereka sudah penuh,” ujarnya, di Jakarta, Selasa. Menurut dia, saat ini beberapa produsen yang terikat kontrak produksi enam juta kompor gas sudah tidak sanggup berproduksi lagi karena “over capasity“. Ari mengatakan, untuk tahun 2007 ini para produsen kompor gas hanya mampu mensuplai lima juta unit, padahal targetnya enam juta unit. “Jadi ada kekurangan sekitar satu juta unit, jadi harus dicari jalan keluarnya,” ujarnya. Menurut dia, jika para produsen harus melakukan investasi untuk menambah infrastruktur untuk meningkatkan kapasitas produksi tentu akan memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Oleh karena itu, Ari mengatakan, rencananya Pertamina akan melakukan pertemuan dengan Departemen Perindustrian dan juga semua produsen kompor gas nasional guna membahas kemungkinan percepatan produksi. Sementara itu, dia mengatakan, untuk masalah kesiapan tangki timbun elpiji pihak Pertamina telah menjaminnya. Dan saat ini, Pertamina sedang mengkaji permintaan pemerintah untuk mempercepat penyelesaian konversi minyak tanah tersebut menjadi 2010, atau dua tahun lebih awal dibandingkan dengan target sebelumnya, yakni 2012.
Menurut Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Agung Laksono pada kesempatan jumpa pers di kantornya (27/8), menilai pemerintah telah gagal. kebijakan konversi minyak tanah ke gas jangan dilaksanakan secara dramatis, tetapi harus bertahap. Langkah penting yang harus ditempuh pemerintah adalah mengoptimalkan sosialisasi secara terpadu. “Keadaan seperti ini harus segera diperbaiki dengan mengambil langkah-langkah agar siap karena dengan kondisi yang ada sekarang pemerintah terlihat belum siap melakukan konversi bahan bakar yang sudah tradisional,” kata Agung. Ketidaksiapan dimaksud, misalnya, tergambar dari bermasalahnya alat-alat pendukung seperti kompor dan tabung, termasuk pendistribusiannya. Namun begitu, Agung berpendapat kebijakan ini jangan dihentikan karena dinilainya cukup bermanfaat bagi masyarakat, terutama untuk menekan pengeluaran rumah tangga. Untuk itu, Agung berharap pemerintah segera melakukan evaluasi agar kebijakan ini dapat berjalan sukses dan mencapai tujuan yang diharapkan. Selain itu, Agung juga meminta agar semua kalangan turut mendukung suksesnya kebijakan konversi ini. Dia menyayangkan adanya sejumlah oknum yang memanfaatkan situasi sulit seperti ini demi keuntungan pribadi. Misalnya dengan sengaja menimbun minyak tanah sehingga barangnya langka dan masyarakat tidak punya pilihan selain membelinya dengan harga tinggi. “Saya kira itu biadab dan tidak berperasaan,” tegasnya.
Leave a comment